Selasa, 18 April 2017

“Materi Perkuliahan PPN dan PPnBM”

I.                  Penyerahan Kena Pajak
Menurut UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 4 Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
Menurut UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1A  Ayat 1 Yang termasuk dalam  pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
A.    Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian

Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian seperti jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.

Penyerahan ini terdiri atas 2 yaitu Operasional Lease dan Financial Lease. Operasional Lease adalah kegiatan sewa guna usaha, dimana lesse tidak mempunyai hak opsi untuk membeli obyek sewa guna usaha contohnya adalah rental. Sedangkan Financial Lease adalah kegiatan sewa guna usaha, dimana lesse, pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli obyek sewa guna usa berdasarkan nilai sisa yang disepakati contohnya adalah mobil, motor, leasing mesin-mesin industri, kapal.
Ada tiga pihak yang terkait, diantaranya adalah Konsumen, Perusahaan Leasing, dan Dealer (yang memungut PPN).
B.     Pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing)
Pengalihan Barang Kena Pajak juga dapat terjadi karena perjanjian sewa beli atau perjanjian sewa guna usaha (leasing). Adapun yang dimaksud dengan penyerahan karena perjanjian sewa guna usaha (leasing) adalah penyerahan yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan Hak Opsi. Meskipun pengalihan atau penyerahan hak atas Barang Kena Pajak belum dilakukan dan pembayaran Harga Jual Barang Kena Pajak tersebut dilakukan secara bertahap, tetapi karena penguasaan atas Barang Kena Pajak telah berpindah dari penjual kepada pembeli atau dari lessor kepada lessee, maka undang-undang ini menentukan bahwa penyerahan Barang Kena Pajak dianggap telah terjadi pada saat perjanjian telah ditandatangani, kecuali apabila saat berpindahnya penguasaan secara nyata atas Barang Kena Pajak tersebut terjadi lebih dahulu daripada saat ditandatanganinya perjanjian.
Berdasarkan SE-10/PJ.42/1994 yang mengatur pelaksanaan PPN terhadap Perjanjian Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi sebagai berikut:
a)      Perlakuan PPN Terhadap SGU dengan Hak Opsi (Finance Lease)
·         Atas penyerahan jasa dalam transaksi SGU dengan Hak Opsi dari Lessor kepada Lessee merupakan Jasa Financial Leasing yang dikecualikan dari pegenaan PPN.
·         Pengalihan BKP oleh suatu perjanjian SGU dengan Hak Opsi, termasuk dalam pengertian penyerahan BKP yang terutang PPN. Penyerahan barang dianggap telah terjadi pada saat barang (barang modal) dipindahkan penguasaannya dari penjual (supplier) atau Lessor kepada pembeli atau Lessee, walaupun belum diikuti dengan penyerahan hak kepemilikan atas barang yang disewa guna tersebut kepada Lessee.

b)      Perlakuan PPN Terhadap SGU Tanpa Hak Opsi
Penyerahan Jasa dalam transaksi SGU tanpa Hak Opsi dari Lessor kepada Lessee adalah penyerahan jasa yang terutang PPN. Karena Lessor sebagai perusahaan jasa persewaan barang dengan demikian merupakan Pengusaha Kena Pajak.
c)      Perlakuan PPN Terhadap Sale and Lease back dengan Hak Opsi Perlakuan PPN tidak terutang PPN sepanjang barang modal (aktiva tetap) yang bersangkutan tetap digunakan oleh Lessee untuk kegiatan usaha yang menghasilkan penyerahan yang terutang PPN.

C.    Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang
Pedagang perantara ialah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaanya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau bala jasa tertentu, misalnya Komisioner atau yang ditunjuk oleh pemerintah.
Barang – barang yang dijual lewat lelang tetap terutang PPN bisa bekas bisa baru (tidak melihat jenis barangnya). Ada tiga pihak yang terkait, yaitu: penjual, pedagang perantara, dan pembeli.
D.    Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak
Pemakaian sendiri mengandung pengertian bahwa Barang Kena Pajak yang merupakan barang dagangan atau hasil produksi digunakan untuk kepentingan Pengusaha Kena Pajak atau digunakan untuk kepentingan pengurus atau karyawannya. Atas pemakaian sendiri Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak atau untuk pengurus dan karyawannya, terutang PPN dan harus dibuatkan Faktur Pajak dengan menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar harga jual Barang Kena Pajak tersebut, tidak termasuk laba kotor.
Pemberian cuma-cuma: sebagai pemberian Barang Kena pajak oleh PKP yang diberi tanpa pembayaran baik dari hasil produksi sendiri, maupun bukan produksi sendiri antara lain pemberian contoh barang dagangan untuk kegiatan promosi kepada relasi atau calon pembeli, termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.
Atas pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak oleh pengusaha Kena Pajak terutang PPN dan harus dibuatakn Faktur Pajak dengan menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar harga jual Barang Kena Pajak yang diberikan.
E.     Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
Berdasarkan ketentuan Pasal 1A UU PPN Tahun 1994 menetapkan pajak PPN dikenakan atas penyerahan persediaan BKP dan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semua tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakai sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan kena pajak. Khusus untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan tersebut, hanya dikenakan PPN apabila memenuhi persyaratan, yaitu bahwa PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
F.     Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang
Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerhan BKP antarcabang dikenakan pajak. Karena menganut prinsip desentralisasi Pengusaha Kena pajak, maka baik kantor pusat maupun kantor cabang dengan nama dan bentuk apa pun masing-masing dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak oleh KKP setempat. Akhirnya penyerahan BKP dari kantor pusat ke kantor cabang atau sebaliknya dan penyerahan antarcabang dikenakan pajak.
G.    Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi
Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, Pajak Petambahan Nilai yang sudah dibayar pada waktu Barang Kena Pajak yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak yang dititipkan tersbut. Sebaliknya, jika Barang Kena Pajak titipan tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik Barang Kena Pajak, Pengusaha yang menerima titipan tersebut dapat menggunakan ketentuan mengenai pengambilan Barang Kena Pajak (retur).
Penyerahan BKP kepada pedagang perantara terutang PPN. Yang dimaksud pedagang perantara adalah pengusaha dengan nama atau bentuk apa pun yang melakukan usaha perdagangan perantara termasuk pedagangan dalam konsinyasi, kecuali makelar yang diangkat dan disumpah oleh Departemen Kehakiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
Pajak Pertambahan Nilai (Pajak Keluaran) harus dipungut oleh PKP tang bersangkutan pada saat penyerahan BKP kepada Pedagang Konsinyasi.

  1. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
Contoh:
Dalam transaksi murabahah, Bank Syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah Bank Syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang – Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.
Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak ini peraturannya sudah dihapuskan.
Jenis perhitungan berdasarkan prinsip syariah adalah:
-          Pendekatan Revenue Sharing (bagi hasil/pendapatan)
Pendekatan ini merupakan perhitungan bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan yang didapat (laba kotor), artinya pendapatan yang didapat sebelum dikurangi dengan biaya – biaya usaha.
-          Pendekatan Profit Sharing (bagi laba)
Pendekatan ini memiliki pengertian bahwa perhitungan bagi hasil didasarkan pada laba bersih, yaitu pendapatan yang dapat dikurangi dengan biaya usaha dan lain – lain.








Menurut UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 7 Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak. Berikut ini akan diuraikan mengenai pengenaan PPN atas beberapa jasa
A.    Jasa Kustodian
Jasa kustodian merupakan jasa yang dilakukan oleh bank yang dapat berupa jasa penitipan, jasa settlement, jasa aksi korporasi (corporate actions), dan jasa registrasi. Jasa kustodian yang berupa jasa penitipan adalah jasa yang terutang PPN. Sedangkan jasa kustodian yang berupa jasa settlement, jasa corporate actions, dan jasa registrasi merupakan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN.
B.     Jasa Kena Pajak yang dibayar menggunakan kartu kredit/kartu debit
Berdasarkan Surat Edaran No. 34/PJ.53/1995 Tanggal 1 Agustus 1995, jasa consumer credit, credit card, dan debit card merupakan jenis jasa yang tidak dikenakan PPN, sehingga atas penyerahannya tiak terutang PPN.
Atas penyerahan Barang Kena Pajak atau JKP yang harganya dilunasi dengan menggunakan fasilitas consumer credit atau credit card atau debit card, tetap terutang PPN dan atau PPnBM sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
C.    Jasa Angkutan dan Jasa Ekspedisi Muatan
Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-426/PJ.53/1996 Tanggal 13 Februari 1996 menyatakan bahwa jasa angkutan umum di darat, laut, udara, maupun sungai yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta, dan jasa angkutan udara luar negeri, termasuk di dalamnya jasa angkutan dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan umum di laut, danau, sungai adalah dikategorikan sebagai Jasa Kena Pajak, sehingga penyerahannya terutang PPN. Sebagai contoh, jasa Ekspedisi Muatan Kapal laut dan Udara (EMKL dan EMKU) adalah Jasa Kena Pajak sehingga penyerahannya terutang PPN.
Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1q) huruf c, dinyatakan bahwa:
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.




Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma – cuma.
  1. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
Menurut penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf d, untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan impor Barang Kena Pajak, atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Contoh:
Pengusaha A yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki Pengusaha B yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh Pengusaha A di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai.
  1. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf e, dinyatakan bahwa:
Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Misalnya, Pengusaha Kena Pajak C di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha B yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.
  1. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
Menurut penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f, berbeda dengan Pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan/atau huruf c, Pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud hanya Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1)
  1. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf g dinyatakan bahwa:
Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).


Yang dimaksud dengan “Barang Kena Pajak Tidak Berwujud” adalah:
1.      Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian, atau karya ilmia, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya.
2.      Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah.
3.      Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial
4.      Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak – hak tersebut pada angka 1, pengunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
a.       Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa
b.      Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik atau teknologi yang serupa
c.       Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi
5.      Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio
6.      Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak – hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
  1. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
Menurut penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h, termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesanan di luar Daerah Pabean.



II.               Penyerahan Tidak Kena Pajak
Menurut UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1A  Ayat 2 yang tidak termasuk dalam  pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
  1. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang – Undang Hukum Dagang
Yang dimaksud dengan “makelar” adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang – Undang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh presiden atau oleh pejabat yang oleh presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang – orang lain yang dengan mereka tidak terdapat  hubungan kerja.
  1. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang
  2. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, pemindahan Barang Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antarcabang) dianggap tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan Barang Kena Pajak antartempat pajak terutang.
  1. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak
Yang dimaksud dengan “pemecahan usaha” adalah pemisahan usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas.
  1. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan/atau aktiva berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak. (Pasal 1A UU No. 42 Tahun 2009 dan penjelasannya).




III.           Dasar Pengenaan Pajak
Berikut ini adalah penjelasan mengenai Dasar Pengenaan Menurut UU No. 42 Tahun 2009 Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
Menurut Mardiasmo (2002 : 215) untuk menghitung besarnya pajak yang terutang adalah “adanya dasar pengenaan pajak (DPP)”. Pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual atau Penggantian atau Nilai Impor atau Nilai Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
Pajak yang merumuskan bahwa DPP adalah jumlah Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
  1. Harga Jual
Menurut UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1 angka 18 Harga Jual adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk PPN yang dipungut berdasarkan Undang – Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak
Contoh : Pengusaha Kena Pajak "A" menjual Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp25.000.000,00. ditambah biaya pengiriman Rp. 1.000.000 dan biaya pemasangan Rp. 750.000. Dasar Pengenaan Pajak adalah :
Harga jual
Rp
25.000.000
Biaya pengiriman
Rp
1.000.000
Biaya pemasangan
Rp
750.000
Dasar Pengenaan Pajak
Rp
26.750.000
PPN terutang = DPP x 10%
Rp
2.675.000





Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.675.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak "A".
  1. Nilai Penggantian
Menurut UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1 angka 19 Nilai Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak, atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Definisi “Penggantian” ini memiliki 2 fungsi:
1.      Sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung PPN yang terutang atas penyerahan JKP, ekspor JKP dan ekspor BKP tidak berwujud (seharusnya termasuk penyerahan BKP tidak berwujud)
2.      Sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung PPN yang terutang atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
Contoh :
PKP B melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian Rp 20.000.000,00. Maka DPP = Rp. 20.000.000 dan
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak "B".
  1. Nilai Impor
Menurut UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1 angka 20 Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang – undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang – Undang ini.
Dari definisi tersebut ditentukan bahwa dalam Nilai Impor sudah termasuk pungutan berdasarkan peraturan perundang – undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai. Berarti Nilai Impor sudah termasuk Bea Masuk, dan Cukai apabila terutang Cukai. Dari definisi ini diperoleh rumus nilai impor sebagai berikut:
NILAI IMPOR = CIF + BEA MASUK + CUKAI
 
 



CIF merupakan akronim dari Cost, Insurance, dan Freight yang diterjemahkan menjadi Harga Patokan Impor.



Contoh:
PT Variasi mengimpor sejumlah DVD Charger mobil dari Jepang dengan Harga Patokan Impor (CIF) Rp 1.000.000.000,00. Terutang Bea Masuk 50%.
Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung PPN dan PPnBM yang terutang dihitung sebagai berikut:
CIF (Harga Patokan Impor)
Rp
1.000.000.000,00
Bea Masuk 50% x Rp 1.000.000.000,00
Rp
500.000.000,00
Nilai Impor (Dasar Pengenaan Pajak)
Rp
1.500.000.000,00




Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ.322/1990 tanggal 15 November 1990 ditegaskan bahwa dalam hal terjadi under invoicing atas impor, DPP akan dikoreksi berdasarkan Harga Pasar Wajar yang diminta oleh importir atau distributor, yang pada umumnya akan diketahui pada mata rantai jalur distribusi berikutnya. PPN dan PPnBM yang kurang dibayar sebagai akibat under invoicing dapat ditagih pada setiap mata rantai jalur distribusi yang melakukan praktik under invoicing.
  1. Nilai Ekspor
Menurut UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1 angka 26 Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. Nilai Ekspor tercantum pada dokumen ekspor yang disebut Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)
  1. Nilai Lain
Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 /PMK.011/2013 tanggal 27 Februari 2013 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
Peraturan Menteri Keuangan ini telah diubah untuk yang kedua kalinya dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor  121/PMK.03/2015 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2015.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersebut ditetapkan jenis dan macam Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak sebagai berikut:
1.      Untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
2.      Untuk pemberian cuma – cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
3.      Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata –rata per judul film (selain film impor).
4.      Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar Harga Jual eceran.
5.      Untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar.
6.      Untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah Harga Pokok penjualan atau Harga Perolehan.
7.      Untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli.
8.      Untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang
9.      Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih.
10.  Untuk penyerahan jasa biro perjalanan wisata dan/atau jasa agen perjalanan wisata berupa penyerahan paket wisata, pemesanan sarana angkutan, dan pemesanan sarana akomodasi, yang penyerahannya tidak didasari pada pemberian komisi/imbalan atas penyerahan jasa perantara penjualan, adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
11.  Untuk penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih.







IV.           Pemakaian sendiri/pemberian cuma – cuma Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
KEP - 87/PJ./ Menurut pasal 1 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 2002, Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak adalah pemakaian untuk kepentingan Pengusaha sendiri, Pengurus, atau diberikan kepada anggota keluarganya atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, selain pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif. Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan.
Sedangkan, Pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak adalah pemberian yang diberikan tanpa imbalan pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, termasuk pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli. Pemberian cuma-cuma Jasa Kena Pajak adalah pemberian Jasa Kena Pajak yang dilakukan kepada pihak lain tanpa imbalan pembayaran.
Kategori Pemakaian Sendiri BKP
Terkait dengan soal pemakaian sendiri BKP tersebut, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2012 menjelaskan bahwa istilah pemakaian sendiri tidak hanya berlaku untuk BKP tetapi juga berlaku untuk Jasa Kena Pajak (JKP). Satu hal yang menurut praktisi pajak tidak sesuai dengan UU PPN dan sangat bertentangan dengan asas pengenaan pajak sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23A UUD 1945.
PP Nomor 1 Tahun 2012 membedakan pemakaian sendiri BKP/JKP ke dalam dua kelompok. Pertama kelompok pemakaian sendiri untuk tujuan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan usaha (untuk tujuan produktif) dan kelompok kedua adalah pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif atau untuk kegiatan yang tidak berhubungan dengan usaha.
Contoh pemakaian sendiri BKP yang tergolong sebagai pemakaian sendiri untuk tujuan produktif, yang disebutkan dalam PP Nomor 1 Tahun 2012 antara lain:
·         Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti kelapa sawit sebagai bahan pembakaran boiler dalam proses pabrikasi.
·         Pabrikan kayu lapis (plywood) menggunakan hasil produksinya berupa kayu lapis (plywood) untuk membungkus kayu lapis (plywood) yang akan dipasarkan agar tidak rusak.
·         Perusahaan telekomunikasi menggunakan sambungan saluran teleponnya untuk melakukan penyerahan jasa provider internet kepada konsumennya (contoh JKP).
·         Pabrikan truk mempergunakan sendiri truk yang diproduksinya untuk kegiatan usaha mengangkut suku cadang.
·         Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai pengeras jalan di lingkungan pabrik.
·         Perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk kegiatan operasional perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra bisnisnya.
Sementara untuk kelompok pemakaian sendiri BKP/JKP untuk tujuan konsumtif, PP Nomor 1 Tahun 2012 memberikan contoh-contoh berikut:
·         Pabrikan minuman ringan menggunakan hasil produksinya untuk konsumsi karyawan atau para tamu.
·         Pabrikan sepatu dalam rangka promosi membeli topi dengan logo merek sepatu pabrik tersebut dan sebagian dibagikan kepada karyawannya.
·         Perusahaan telekomunikasi selular memberikan fasilitas bebas biaya telepon selular kepada para direksinya.
Terutang PPN
Pemakaian sendiri BKP maupun JKP yang bersifat konsumtif (tidak berhubungan langsung dengan proses produksi selanjutnya atau tidak berhubungan dengan kegiatan usaha produksi, distribusi, manajemen dan pemasaran) merupakan penyerahan yang terutang PPN. Ini berarti terhadap pemakaian sendiri tersebut harus diterbitkan Faktur Pajak di mana Faktur Pajak atas pemakaian sendiri ini berfungsi sebagai Pajak Keluaran (PK) dan sekaligus sebagai Pajak Masukan (PM).  Akan tetapi perlu diingat bahwa PM tersebut tidak dapat dikreditkan di SPT Masa PPN.
Tarif PPN untuk pemakaian sendiri ini sama seperti yang lainnya, yaitu 10%. Tetapi khusus untuk DPP atau dasar pengenaan pajaknya, yang dipakai sebagai DPP adalah Harga Jual (untuk BKP) atau Penggantian (untuk JKP) setelah dikurangi dengan laba kotor [Pasal 2 huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010]. Orang banyak yang menyebut DPP ini dengan Harga Perolehan atau Harga Pokok Produksi (cost of prodution).
Harga Perolehan digunakan apabila BKP atau JKP yang dipakai sendiri itu bukan hasil produksi sendiri. Misalnya seperti pabrikan sepatu yang membeli topi untuk promosi dan kemudian sebagian dari topi itu diberikan kepada pegawainya.
Sedangkan Harga Pokok Produksi digunakan apabila BKP atau JKP yang dipakai sendiri itu merupakan hasil produksi sendiri. Misalnya pabrikan sepatu memberikan sepatu hasil produksinya kepada para pegawai atau direksinya.
Karena DPP untuk pemakaian sendiri ini menggunakan Nilai Lain, maka Faktur Pajak yang dibuat nantinya menggunakan kode 04. Selain itu, dalam Faktur Pajak tersebut kolom identitas pembeli atau penerima BKP/JKP diisi dengan identitas pengusaha sendiri (sama dengan kolom penjual atau pihak yang menyerahkan BKP/JKP).
Penyetoran PPN (Pajak Keluaran/PK) atas pemakaian sendiri BKP dan JKP ini tidak dilakukan secara tersendiri tetapi digabungkan dengan PPN dari Faktur Pajak lainnya (ikut mekanisme umum PK minus PM).
Bersifat Produktif
Pemakaian sendiri BKP maupun JKP yang bersifat produktif (untuk digunakan dalam proses produksi selanjutnya atau digunakan untuk kegiatan usaha produksi, distribusi, manajemen dan pemasaran) menurut PP Nomor 1 Tahun 2012 sebenarnya juga terutang PPN. Namun, seperti yang diutarakan oleh memori penjelasan Pasal 5 PP Nomor 1 Tahun 2012 tersebut, untuk memmberikan kemudahan administrasi pelaporan dan penghitungan kepada pengusaha, atas pemakaian sendiri BKP/JKP untuk tujuan produktif seperti ini tidak perlu dibuatkan Faktur Pajak dan PPN-nya pun tidak perlu disetorkan. Sebab PPN yang disetorkan itu nantinya akan menjadi PK sekaligus PM yang dapat dikreditkan. Jadi jika di-nett-off-kan akan menjadi Rp 0,-.
Akan tetapi lain ceritanya jika pemakaian sendiri yang bersifat produktif tersebut terkait dengan kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang PPN atau mendapat fasilitas pembebasan PPN. Dalam hal ini meski bersifat produktif, atas pemakaian sendiri BKP/JKP tersebut tetap harus dibuatkan Faktur Pajak dan PPN maupun PPn-BM-nya tetap harus disetorkan ke kas negara (sama seperti pemakaian sendiri yang bersifat konsumtif).
Misalnya PT ABC memproduksi mobil Esemka tipe sedan. Di samping itu, PT ABC juga mempunyai lini usaha perusahaan taksi umum. Beberapa unit mobil sedan Esemka yang dihasilkannya tersebut kemudian digunakan oleh PT ABC sebagai mobil pelayanan service mobil keliling dan beberapa unit mobil lainnya dipakai sebagai armada taksinya.
Terhadap pemakaian sendiri mobil Esemka untuk kendaraan operasional service keliling tidak perlu dibuatkan Faktur Pajak dan PPN maupun PPn-BM-nya pun tidak perlu disetorkan ke kas negara.
Terhadap pemakaian sendiri mobil Esemka untuk kendaraan taksi, harus dibuatkan Faktur Pajak karena jasa angkutan umum (taksi) merupakan jasa yang atas penyerahannya tidak terutang PPN. Dengan demikian, PPN maupun PPn-BM-nya harus disetorkan ke kas negara.




V.               Penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya, atau antarcabang sepanjang tidak mendapat izin pemusatan PPN terutang.
Menurut UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1A ayat 2 huruf c bahwa “Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada  Direktur Jenderal Pajak, pemindahan Barang Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antarcabang) dianggap tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan Barang Kena Pajak antartempat pajak terutang.”
Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang adalah transaksi internal yang terjadi dalam diri PKP. Dalam transaksi tersebut tidak ada pihak penjual maupun pembeli. Oleh karena itu sulit membuktikan bahwa dalam transaksi tersebut terdapat unsur konsumsi. Jika demikian, pengenaan PPN atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang adalah tidak tepat, oleh karena tidak adanya unsur konsumsi yang harus dikenakan pajak. Selain unsur konsumsi, adalah unsur nilai tambah (value added) yang menjadi sasaran dalam pengenaan PPN. Sama halnya dengan unsur konsumsi , dalam transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang, unsur nilai tambah pun sulit ditentukan atau bahkan memang tidak ada nilai tambah yang muncul.
Dengan mengacu pada kesulitan didalam menentukan adanya unsur konsumsi dan nilai tambah pada transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang, pengenaan PPN atas transaksi tersebut bertolak belakang dengan legal character PPN itu sendiri.
Pajak Pertambahan Nilai akan terutang ketika terjadi suatu penyerahan Barang Kena Pajak. Oleh karena itu penyerahan barang menjadi faktor penting didalam menentukan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Menurut Williams, penyerahan suatu barang dianggap terjadi apabila dalam penyerahan barang tersebut terjadi perpindahan kepemilikan atas suatu barang. Perpindahan kepemilikan suatu barang menjadi kata kunci dalam transaksi penyerahan barang. Dengan demikian dapat dipahami, untuk kepentingan pemajakan penyerahan barang yang diikuti oleh adanya perpindahan kepemilikan dikenakan pajak.
Dalam kasus penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya adalah transaksi yang bersifat internal yang terjadi dalam satu perusahaan. Dalam transaksi tersebut sama sekali tidak terjadi perpindahan kepemilikan (transfer of right) atas suatu barang, melainkan hanya sebatas perpindahan lokasi atau tempat saja. Pengenaan PPN atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dari kantor pusat ke cabang secara jelas tidak mengikuti teori dan konsep PPN yang ada.
Dalam praktek di lapangan, ketentuan ini hanya menimbulkan biaya yang harus ditanggung oleh pengusaha. PPN terutangnya sendiri jika di cross akan nol, oleh karena menggunakan dasar pengenaannya adalah harga pokok. Maksud di cross akan nol adalah bahwa adanya mekanisme pengkreditan PPN PK – PM (Pajak Keluaran – Pajak Masukan). Namun untuk melakukan ini, PKP harus mengeluarkan biaya administrasi yang tidak sedikit. Akibatnya seringkali PKP tidak compliance terhadap aturan, karena menghindari adanya biaya yang ditimbulkan. Sebagai contoh, showroom mobil merek tertentu, apabila memerlukan mobil dari cabang lain, cabang lain tersebut tidak akan melakukan pembukuan penyerahan, melainkan cukup dibuatkan nota pengiriman. Tujuannya menghindari adanya administration cost. Hal ini tentu saja menjadi tidak benar dari sudut compliance. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan bahwa memang secara keseluruhan kalau di cross PPN akan nol, namun dari sisi administrasi ada biaya yang harus dibayar oleh PKP, maka sebaiknya penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang tidak dijadikan sebagai objek pajak.



VI.           Penyerahan Media Rekaman Suara dan Gambar
Penyerahan produk rekaman suara dan gambar sejak 1 Juli 2015 dikenai PPN berdasarkan harga sebenarnya. Menteri Keuangan sudah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 121/PMK.03/2015 yang menghapus penyerahan rekaman suara atau gambar dari daftar nilai lain.
Pengenaan PPN atas Produk Rekaman Suara dan/atau Gambar
1.      PPN terutang atas penyerahan produk rekaman suara dan/atau gambar hanya dikenakan sekali yaitu di tingkat pabrikan dengan cara membubuhkan stiker lunas PPN pada setiap produk rekaman suara dan/atau produk rekaman gambar.
2.      Penyalur/agen/outlet/pengecer yang semata-mata melakukan penyerahan produk rekaman suara atau produk rekaman gambar yang telah dibubuhi stiker lunas PPN tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan tidak wajib memungut serta menyetor pajak yang terhutang serta tidak dapat mengkreditkan pajak masukannya.
3.      Penyalur/agen/outlet/pengecer yang melakukan penyerahan produk rekaman suara atau produk rekaman dan penyerahan BKP lain, seperti kaset, CD kosong dan pembersih kaset atau CD (cleaner) tetap harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak perlu lagi mengenakan PPN atas penyerahan produk rekaman suara/gambar yang telah dibubuhi stiker lunas.
4.      Penyalur/agen/outlet/pengecer yang telah dikukuhkan sebagai PKP tidak perlu lagi memungut PPN atas penyerahan produk rekaman suara dan atau produk rekaman gambar yang telah dibubuhi stiker lunas PPN.




KASUS DAN PEMBAHASAN

Harga Bahan Baku Mahal dan Ekspor Lesu
Rabu, 22 Juni 2016
Para perajin perhiasan perak di Bali menjerit, karena ekspor semakin lesu akibat kondisi ekonomi global yang belum kondusif.
Di samping harga perak sebagai bahan baku perhiasan semakin mahal, sehingga sulit bersaing di pasaran luar negeri.
“Perajin perhiasan perak di Bali umumnya sulit mendapatkan bahan baku berupa perak murni produksi dalam negeri dengan harga bersaing,” kata Jro Mangku Kerti, seorang pengusaha sekaligus eksportir perhiasan perak dan emas di Denpasar, Selasa (21/6).
Perajin perhiasan perak umumnya menerima pesanan dari mitra usaha di mancanegara, dengan membawa rancangan yang disesuaikan pasar setempat, sekaligus membawa perak sebagai bahan baku, sehingga perajin hanya memproduksinya saja.
Jro Mangku Kerti mengatakan, mitra usahanya membawa perak murni dari negerinya dengan bungkus warna biru, yang konon produksi Indonesia yang selama ini dieskpor PT Antam (Pesero) Tbk UBPP Logam Mulia sebagai produsen emas dan perak di Indonesia.
Pengusaha perhiasan perak Bali umumnya membeli perak impor dengan harga sesuai tarif internasional, yang jatuhnya jauh lebih murah dari pada harga di dalam negeri. Dengan mendatangkan perak bahan baku perhiasan dari luar negeri maka harganya bersaing. “Kami tidak bisa membeli perak serupa di dalam negeri karena harganya lebih mahal dari impor,” tutur Jro Mangku yang dibenarkan rekannya Made Subrata, yang menyebutkan pasaran ekspor perhiasan belakangan ini mengalami kelesuan.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali mencatat, perdagangan ekspor khusus perhiasan daerah ini merosot terus, karena menghasilkan devisa 4,9 juta dolar AS selama April 2016, merosot hingga 24,71 persen jika dibandingkan periode yang sama 2015 mencapai 6,6 juta dolar AS.
Untuk bisa memulihkan kondisi perdagangan ekspor perhiasan di Nusantara termasuk Bali, maka perlu ada uluran tangan pemerintah untuk menekan harga perak di dalam negeri,  paling sedikit sama dengan harga internasional.
Pimpinan Butik Emas Logam Mulia Denpasar, Nur Syahrini Dewi ketika dikonfirmasi membenarkan, perak produksi PT Antam lebih banyak memenuhi pasaran ekspor, jika dibandingkan permintaan dalam negeri tentu dengan harga yang standar internasional.
PT Antam (Pesero) Tbk mampu mengekspor sekitar sepuluh ton perak memenuhi permintaan yang datang dari Thailand, Singapura maupun Australia selama 2015, sedangkan selama Januari-Mei 2016, perak yang diperdagangkan ke luar negeri sudah delapan ton.
Nur Syahrini Dewi mengakui harga perak yang dilempar ke pasaran ekspor seharga Rp7 juta/ kilogram. Hal ini sesuai dengan perkembangan harga internasional, sedangkan untuk di dalam baru 1,2 ton dengan harga Rp7,5 juta/kilogram.
Perusahaan sebenarnya menjual perak sesuai harga internasional, hanya saja pembelian perak di dalam negeri dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sehingga jatuhnya lebih mahal yang diterima para pengusaha perhiasan di Tanah Air.
PT Antam (Pesero) Tbk sebenarnya berupaya menjual perak sesuai harga internasional kepada semua pembeli, hanya saja pemerintah mengenakan PPN kepada pembeli di dalam negeri, sedangkan untuk ekspor tidak, sehingga perak luar negeri kelihatan murah.
Untuk menggairahkan perajin dalam berproduksi memenuhi permintaan luar negeri, sudah saatnya pemerintah duduk bersama produsen dan pengusaha kerajinan untuk bisa menekan harga perak di dalam negeri, dengan menghapus pajaknya.



PEMBAHASAN KASUS

Isi Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 268/PMK.03/2015 Pasal 3 ayat 1 yang berbunyi:
“Pemberian fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan Pasal 1 ayat (2) huruf a menggunakan Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai untuk setiap kali impor dan/atau penyerahan.”
Isi Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 268/PMK.03/2015 Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi:
“Pengusaha Kena Pajak yang melakukan impor dan/atau menerima penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis harus memiliki Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sebelum impor dan/atau penyerahan.”

Masalah:
Perusahaan perak sebenarnya menjual perak sesuai harga internasional, hanya saja pembelian perak di dalam negeri dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sehingga jatuhnya lebih mahal yang diterima para pengusaha perhiasan di Tanah Air.
PT Antam (Pesero) Tbk sebenarnya berupaya menjual perak sesuai harga internasional kepada semua pembeli, hanya saja pemerintah mengenakan PPN kepada pembeli di dalam negeri, sedangkan untuk ekspor tidak, sehingga perak luar negeri kelihatan murah.

Solusi:
Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 268/PMK.03/2015 Pasal 3 ayat 1 tersebut, berarti pengrajin bisa mendapatkan perak bahan baku perhiasan dengan harga yang berlaku tanpa ditambah PPN seperti yang berlaku selama ini, apalagi di Denpasar sudah ada Butik Emas Logam Mulia yang melayani masyarakat akan keperluan emas dan perak.
 Alangkah baiknya pemeritah lebih mengexplore usaha-usaha dalam negri yang potensi perputaran ekonominya baik. Sehingga meningkatkan minat industri-industri lainnya tumbuh. dengan adanya penghapusan ppn tersebut bagi pembelian bahan pokok dan bahan pembantu lainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

“Kegiatan Membangun Sendiri oleh PKP dan Bukan PKP, e-Faktur, dan e-SPT PPN”

KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI OLEH PKP/ BUKAN PKP Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Kegiatan Membangun Send...