Selasa, 18 April 2017

“Materi Pengantar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

DEFINISI
DEFINISI PAJAK

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan,
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Pengertian pajak menurut P.J.A Andriani dalam Waluyo (2011:2) adalah sebagai berikut :
“Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”

DEFINISI PPN (PAJAK PERTAMBAHAN NILAI)

Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi.

DEFINISI PPnBM (PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH)

Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 0% (nol persen). Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.
DAERAH PABEAN

Pengertian Daerah Pabean adalah :
Wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan. (Pasal 1 ayat 1 UU no.42 tahun 2009)
Di dalam Daerah Pabean Republik Indonesia terdapat wilayah yang apabila terjadi Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Barang Mewah, wilayah tersebut disebut Kawasan Berikat. Luas Kawasan Berikat tidak sama.
Pengertian Kawasan Berikat adalah suatu bangunan, tempat, atau kawasan dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia lainnya, yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor. (Peraturan Pemerintah no 33 tahun 1996)




Kawasan berikat adalah tempat menyimpan, penimbunan, dan pengolahan barang-barang yang berasal dari dalam dan luar negeri. Suatu wilayah ditetapkan sebagai kawasan berikat berdasarkan Keputusan Presiden dan diselenggarakan oleh BUMN.
Contoh kawasan berikat di Indonesia ialah sebagai berikut :
1)      Di Cilincing (Jakarta), yang merupakan kawasan berikat terluas di Indonesia.
2)      Di Tanjung Emas, Export Processing Zone (TEPS) terdapat di pelabuhan Tanjung Emas, Semarang.



SEJARAH PPN DAN PPnBM

Secara kronologis, sejarah perkembangan pemungutan PPN dan PPnBM di Indonesia meliputi:

1.      Pajak Pembangunan I
Pajak Pembangunan I atau PPb I dipungut secara resmi per 1 Juli 1947 atas usaha rumah makan, penginapan dan penyerahan jasa di rumah makan. PPb I berstatus sebagai pajak pusat yang menjadi pajak daerah sejak tahun 1957.
Pajak Pembangunan 1 ini kemudian diatur kembali secara rinci dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah , sebagaimana terakhir di atur dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang mengatur mengenai Pajak Hotel dan Restoran dengan tarif 10%.

2.      Pajak Peredaran Tahun 1950
Pajak peredaran ini agak berbeda yaitu pengenaannya didasarkan atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan di Indonesia. Dikenakannya secara berjenjang pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi, menggunakan satu tarif 2,5% dan bersifat komulatif. Pemungutan pajak peredaran ini tidak berlangsung lama.

3.      Pajak Penjualan
Undang-Undang Darurat No. 19 tahun 1951 yang berlaku per 1 oktober 1951 selanjutnya menjadi Undang-Undang No. 35 tahun 1953 sebagai dasar hukum pemungutan pajak penjualan yang dikenal dengan Pajak penjualan 1951 (PPN 1951). Pemungutan Pajak Penjualan 1951 ini menggunakan single stage tax pada tingkat pabrikan (manufacturer’s sales tax).

4.      Pajak Pertambahan Nilai
Sifat kumulatif pada Pajak Penjualan 1951 direformasi dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yaitu pada saat reformasi sistem perpajakan nasional. Karena pertimbangan kesiapan pelaksanaannya, maka secara efektif PPN dan PPnBM berlaku per 1 april 1985. Ditinjau dari pengelompokannya, PPN ini termasuk non commulative multi stage sales tax. Non commulative berarti mekanisme pemungutan PPN dikenakan pada nilai tambah dari barang kena pajak dan jasa kena pajak. Dengan Undang-Undang No. 11 tahun 1994 yang diberlakukan per 1 januari 1995 PPN dan PPnBM mengalami perubahan. Adanya perubahan atas Pajak Penjualan menjadi Pajak Pertambahan Nilai dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pajak berganda yang dapat memudahkan terjadinya penggelapan pajak. 


DASAR HUKUM PPN DAN PPnBM

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang tetap dinamakan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.
Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2006.
Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003.
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah




PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

KARAKTERISTIK
1.      Merupakan Pajak tidak langsung :
Yaitu antara pemikul pajak ( destinaris pajak) dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas negara berada pada pihak yang berbeda. Pemikul beban pajak ini secara nyata berkedudukan sebagai pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
Sedangkan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas negara adalah Pengusaha Kena Pajak yg bertindak sebagai penjual  Barang Kena Pajak atau Pengusaha Jasa Kena Pajak.

2.      Pajak  Objektif :
Yaitu  timbulnya kewajiban untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai ditentukan oleh adanya Objek Pajak. Pajak Pertambahan Nilai tidak membedakan antara konsumen berupa Orang Pribadi dengan Badan.

3.      Multy Stage Tax
a.       Dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi.
b.      Setiap penyerahan barang yang menjadi objek PPN mulai dari tingkat pabrikan sampai kepada tingkat pedagang pengecer dikenakan PPN.

4.      Pajak yang di bayar ke kas negara di hitung menggunakan Credit Method/ Invoice Method :
 yaitu pajak yg harus dibayar ke kas negara merupakan  hasil perhitungan mengurangkan PPN yg dibayar kepada PKP lain dinamakan Pajak Masukan dengan PPN  yg dipungut dari pembeli atau penerima jasa yg dinamakan  Pajak Keluaran
Credit Method
Pada credit method ini, harus dicari selisih antara pajak yang dibayar saat pembelian dengan pajak yang dipungut saat penjualan. Hasil metode kredit lebih akurat karena komponen harga beli dapat memiliki komponen yang tidak terutang PPN.  Metode ini juga disebut invoice method karena menuntut alat bukti berupa faktur pajak (tax invoice). Contoh:
BKP diserahkan dengan harga Rp 150.000.000 : PPN = Rp 5.000.000
BKP diperoleh dengan harga Rp 100.000.000 : PPN = Rp 10.000.000
Selisih PPN terutang : PPN = Rp 5.000.000

5.      Merupakan Pajak  atas Konsumsi Umum Dalam Negeri :
Tujuan akhir PPN adalah pengenaan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi yang dilakukan oleh perseorangan maupun oleh badan dalam bentuk belanja barang maupun jasa.

6.      Pajak  Pertambahan Nilai bersifat netral :
a.       PPN dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa,
b.      Tarif yang dikenakan baik BKP atau JKP sama,
c.       Dalam pemungutannya, PPN menganut prinsip  tempat tujuan (destination principle) dan prinsip tempat asal ( origin principle) .

7.      PPN tidak menimbulkan dampak Pengenaan Pajak Berganda
PPN tidak dikenakan pada barang sama yang sebelumnya sudah dikenakan pajak lain, seperti Pb 1.

8.      Merupakan pajak atas konsumsi barang dan jasa di daerah Pabean.
SISTEM DAN MEKANISME

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000. Barang tidak kena PPN. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.
Mekanisme PPN adalah mengurangkan Pajak Keluaran (PK) dengan Pajak Masukan(PM). Pajak Keluaran adalah PPN yang harus dipungut pada waktu menjual barang/jasa/barang tidak berwujud. Pajak Masukan adalah PPN yang diperoleh pada waktu membeli barang/jasa/barang tidak berwujud.
Apabila dalam 1 masa pajak diperoleh :
·         PK > PM maka selisihnya adalah PPN yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak (Ps 9(3)UU No.42 tahun 2009)
·         PK < PM maka selisihnya adalah PPN yang lebih disetor dan dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau direstitusikan (Ps 9(4),(4a),(4b)UU No.42 tahun 2009).


BARANG KENA PAJAK
Pada dasarnya semua barang merupakan barang kena pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 42/2009 tentang PPN dan PPnBM.

Barang tidak kena PPN :

·         barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:
1.      minyak mentah (Crude oil)
2.      Gas bumi tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat.
3.      Panas bumi.
4.      asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat(phospat), talk, tanah serap (fullers earth),tanah diatome, tanah liat, tawas (alum),tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit.
5.      Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara dan.
·         Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi:
1.      beras
2.      gabah
3.      jagung
4.      sagu
5.      kedelai
6.      garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium
7.      daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan,dibekukan, dikemas atau tidak dikemas,digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus
8.      telur, yaitu telur yang tidak diolah,termasuk telur yang dibersihkan,diasinkan, atau dikemas
9.      susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas
10.  buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas,dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas
11.  sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah
·         makanan dan minuman yang disajikan di hotel,restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya,meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering.
·         Uang, emas batangan, dan surat berharga

JASA KENA PAJAK
Jasa kena pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang/ fasilitas/ kemudahan/ hak tersedia untuk dipakai, termasuk menghasilkan barang berdasarkan pesanan dengan bahan dan petunjuk pemesan, yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
Diantaranya : Jasa konsultan, jasa sewa, jasa konstruksi, jasa perantara, dsb.
Pada dasarnya semua jasa merupakan Jasa Kena Pajak (JKP), kecuali yang dinyatakan lain oleh Undang-Undang PPN itu sendiri. Jenis jasa yang tidak dikenai PPN adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a.       jasa pelayanan kesehatan medik;
b.      jasa pelayanan sosial;
c.       jasa pengiriman surat dengan perangko;
d.      jasa keuangan;
e.       jasa asuransi;
f.       jasa keagamaan;
g.      jasa pendidikan;
h.      jasa kesenian dan hiburan;
i.        jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j.        jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
k.      jasa tenaga kerja;
l.        jasa perhotelan;
m.    jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
n.      Jasa penyediaan tempat parkir;
o.      Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p.      Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q.      Jasa boga atau catering










PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPnBM)

KARAKTERISTIK
1.      Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
2.      PPnBM merupakan pungutan tambahan BKP Mewah selain PPN. Oleh karena itu tidak mungkin ada PPnBM tanpa PPN.
3.      PPnBM hanya dikenakan satu kali (yaitu ; pada saat impor atau pada saat penyerahan BKPMewah oleh Pengusaha Kena Pajak Pabrikan).
4.      PPnBM tidak dapat dikreditkan, sehingga diperlakukan sebagai biaya.
5.      Dalam hal BKP Mewah diekspor, PPnBM yang dibayar pada saat perolehannya dapat diminta kembali/direstitusi.

SISTEM DAN MEKANISME
Mekanisme PPnBM diatur dalam pasal 5, Pasal 8 dan Pasal 10 UU PPN, yang sama secara garis besar adalah sebagai berikut:
a.       Atas impor dan Penyerahan BKP yang tergolong Mewah oleh PKP yang menghasilkan BKP yang tergolong Mewah tersebut disamping dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM.
b.      PPnBM hanya dipungut satu kali, yaitu pada waktu Impor atau pada waktu menyerahkan BKP yang tergolong Mewah tersebut oleh pabrikan.
c.       PPnBM tidak dapat dikreditkan baik terhadap PPN maupun terhadap PPnBM;
d.      Tarif PPnBM yang berdasarkan UU No. 8 Tahun 1983 berkisar antara 10% sampai dengan 35% dengan UU No. 11 Tahun 1994 diubah menjadi setinggi-tingginya 50% dan dengan UIJ No. 18 Tahun 2000 diubah lagi menjadi setinggi-tingginya 75%.
e.       Atas ekspor BKP yang tergolong mewah dapat meminta kembali PPnBM yangtelah dibayar pada waktu perolehan BKP yang tergolong mewah yang diekspor tersebut.


BARANG KENA PAJAK
Barang-barang yang tergolong mewah dan harus dikenai PPnBM ialah:
·         Barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok
·         Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
·         Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
·         Barang yang dikonsumsi hanya untuk menunjukkan status atau kelas social

























PENGUSAHA KENA PAJAK
Berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU PPN, Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/ atau penyerahan JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN .
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan BKP meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhan menjadi PKP, tetapi belum dikukuhkan. Penyerahan  Barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat syarat Sebagai berikut :
·    Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP
·    Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP Tidak berwujud
·    Penyerahan dilakukan di Daerah Pabean; dan
·    Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya
Pengusaha Kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi PKP. Apabila pengusaha kecil memilih menjadi PKP, UU PPN juga berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil tersebut. Namun bagi Orang Pribadi atau Badan (bukan PKP) yang  memanfaatkan BKP Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean, dan memanfaatkan JKP dari Luar Daerah Pabean, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan tersebut paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.

Pengertian Pengusaha Kecil

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197/PMK.03/2013 yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2014, Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto sebagaimana dimaksud adalah jumlah keseluruhan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya.


Penyerahan yang Dilakukan oleh Pengusaha Kecil 
Atas penyerahan BKP dan atau JKP yang dilakukan oleh Pengusaha Kecil tidak dikenakan PPN, kecuali jika Pengusaha Kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP. Pengusaha Kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi PKP. Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana diwajibkan terhadap PKP pada umumnya. Ketentuan tidak dikenakan PPN tidak berlaku apabila Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.

Pengusaha yang Wajib Mendaftarkan Diri untuk Dikukuhkan sebagai PKP 
Pengusaha kecil yang omsetnya telah melampaui batasan peredaran bruto (omzet) Rp 4,8 miliar sampai dengan suatu bulan dalam satu tahun buku, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Contoh :                                                                 
Bapak Meidi terdaftar di KPP Jakarta Kebayoran Baru Dua memiliki toko onderdil mobil di Pusat Onderdil Fatmawati, omset bulan Januari s.d. April 2014 mencapai Rp 4,5 miliar. Sementara omset bulan Mei 2014 adalah Rp 400 Juta. Dengan demikian, batasan Pengusaha Kecil telah terlampaui pada bulan Mei 2014, sehingga Bapak Meidi harus segera melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP kepada KPP Jakarta Kebayoran Baru Dua selambat-lambatnya 30 Juni 2014.

Pengusaha yang Telah Melampaui Batasan Omset Rp 4,8 miliar Tetapi Tidak Melaporkan Usahanya untuk Dikukuhkan sebagai PKP
Pengusaha kecil yang telah melampaui batasan omset Rp 4,8 miliar  dapat dikukuhkan secara jabatan, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai Pengusaha Kena Pajak, terhitung sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Contoh:
Jika Bapak Meidi (seperti contoh diatas) tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP ke KPP Jakarta Kebayoran Baru Dua dan berdasarkan hasil ekstensifikasi pada bulan Desember 2014 diketahui bahwa batasan Pengusaha Kecil telah terlampaui pada bulan Mei 2014. Maka saat pengukuhan sebagai PKP terhitung sejak bulan Mei 2014 dan atas PPN terutang bulan Mei s.d. Nopember 2014 beserta sanksi bunga 2 % sebulan dari PPN terhutang.

Hak dan Kewajiban PKP 
Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor BKP Berwujud, ekspor JKP, dan/atau ekspor BKP Tidak Berwujud diwajibkan:
1.      Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP;
2.      Memungut pajak yang terutang;
3.      Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, serta menyetorkan PPnBM yang terutang; dan
4.      Melaporkan penghitungan pajak dalam SPT Masa PPN.
Kewajiban untuk memungut, menyetorkan dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terhutang dimulai sejak saat pengukuhan sebagai PKP.

Hak yang diperoleh jika telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak adalah:
a.
Pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP;
Pajak Masukan adalah PPN yang sudah dibayar oleh PKP karena memperoleh atau membeli BKP dan/atau  JKP. Kemudian Pajak Masukan tersebut dapat berfungsi menjadi kredit atau pengurang pajak keluaran apabila PKP menjual barang. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut oleh PKP saat melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP.
b.
Restitusi atau kompensasi atas kelebihan PPN. Apabila Pajak Masukan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka PKP dapat mengajukan restitusi atau kompensasi. Restitusi adalah permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain restitusi PKP dapat melakukan kompensasi kelebihan Pajak Masukan untuk masa pajak berikutnya.




KASUS DAN PEMBAHASAN
Uji Materi UU PPN, Pemerintah Tegaskan Aturan Tidak Diskriminatif
Kamis, 23 Juni 2016 | 13:21 WIB

Mewakili Pemerintah, Kepala Biro Bantuan Hukum Kementerian Keuangan Tio Serepina Siahaan saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam sidang uji materi UU Pajak Pertambangan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Rabu (22/6) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Ganie.
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materi Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang Undang No 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang mewah (PPN), Rabu (22/6) di ruang sidang pleno MK. Agenda sidang perkara Nomor 39/PUU-XIV/2016 tersebut adalah  mendengarkan keterangan Presiden dan DPR.
Mewakili Pemerintah, Kepala Biro Bantuan Hukum Kementerian Keuangan Tio Serepina Siahaan menyatakan pasal yang diujikan Pemohon sifatnya tidak membeda-bedakan dan berlaku bagi seluruh wajib pajak yang masih memiliki hak dan kewajiban perpajakan, baik pribadi maupun badan hukum di dalam negeri dan luar negeri. “Ketentuan ini bersifat equality before the law. Semua sama di mata hukum dan tak ada diskriminasi sama sekali,” ujarnya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Selain itu, kata dia,  pemerintah melalui aturan ini bertujuan menjunjung tinggi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dalil Pemohon yang menyatakan diberlakukannya Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN mengakibatkan timbulnya perlakuan yang diskriminatif, dinilai Pemerintah tidak beralasan menurut hukum. Sebab, ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Sebelumnya, Doli Hutari sebagai ibu rumah tangga dan konsumen komoditas pangan, serta Sutejo, pedagang komoditas pangan di Pasar Bambu Kuning merasa dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN. Para pemohon merasa mendapat perlakuan berbeda ketika akan mengakses komoditas pangan, antara lain berupa komoditi pangan non beras, kacang-kacangan lantaran komoditas tersebut dikenai PPN.
Pemohon menyatakan pengenaan PPN terhadap produk-produk tersebut berimbas pada maraknya komoditas impor hasil selundupan yang tidak membayar PPN dan bea masuk. Hal tersebut mengakibatkan disparitas harga sangat jauh, sehingga produk tersebut menjadi kalah bersaing dengan komiditas pangan ilegal.
Di sisi lain, Pemohon menilai penjelasan dalam pasal tersebut hanya menyertakan 11 jenis kategori pangan yang tidak dikenakan PPN, sedangkan komoditas lainnya dikenakan PPN. Ketentuan itu menyebabkan komoditas pangan di luar 11 jenis tersebut menjadi lebih mahal. Efek lainnya juga membuat  kebutuhan pangan, gizi masyarakat, serta identitas kuliner bangsa terancam tidak dapat dipenuhi. (ars/lul)


PEMBAHASAN KASUS

Isi UUD 1945 Pasal 28I Ayat 2, yang berbunyi :
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Isi UU No 42 Tahun 2009 Pasal 4A Ayat 2, yang berbunyi :
“Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
a.       barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b.      barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c.       makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
d.      uang, emas batangan, dan surat berharga.”

Penjelasan Huruf B
Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:
a.       beras;
b.      gabah;
c.       jagung;
d.      sagu;
e.       kedelai;
f.       garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
g.      daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
h.      telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
i.        susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
j.        buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
k.      sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.

MASALAH
  Diduga ada perlakuan diskriminasi hukum mengenai kebutuhan pokok apa saja yang tidak dikenai PPN. Dalam UUD 1945 Pasal 28I Ayat 2 dijelaskan bahwa tidak boleh ada perlakuan diskriminatif, tetapi dalam UU No 42 Tahun 2009 Pasal 4A Ayat 2 huruf B membatasi apa saja kebutuhan pokok yang dikecualikan dari Barang Kena Pajak. Hal ini tentunya memberikan kerugian bagi sebagian besar masyarakat mengenai ketimpangan kebutuhan pokok yang lainnya.

SOLUSI
Dalam hal penjelasan kebutuhan pokok yang dikecualikan dari Barang Kena Pajak sebaiknya tidak dibatasi. Pasalnya, penjelasan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, sehingga tak berkekuatan hukum mengikat alias harus dihapus. Pasal 4A ayat 2 huruf b itu menjelaskan kebutuhan pokok yang masuk kriteria dibutuhkan rakyat banyak itu hanya 11 komoditas, antara lain: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai hingga sayuran.
Sedangkan barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak tak bisa dibatasi hanya 11 komoditas saja. Sebab, masih banyak jenis barang kebutuhan pokok lainnya di luar itu, seperti kacang merah, kacang tanah, kacang hijau, termasuk rempah-rempah. Ini artinya semua yang dibutuhkan rakyat banyak yang bersumber dari hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, dan air yang diambil dari sumbernya atau diolah paska panen, bukan hasil pengolahan harus bebas PPN.
Dengan tidak ada lagi pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas komoditas pangan, maka harga produk kebutuhan pokok bakal turun. Hal ini tentunya membawa dampak positif bagi masyarakat, tetapi memiliki dampak negative bagi pemerintah karena penerimaan Negara atas Pajak akan menurun meskipun tidak signifikan.
Dalam perkara ini pemohon menyatakan PPN terhadap produk-produk kebutuhan pangan di luar 11 komoditas yang telah ditetapkan menyebabkan impor illegal atas produk tersebut semakin marak. Hal ini merugikan petani dalam negeri. 
Impor ilegal yang notabene terhindar dari pengenaan PPN dan bea masuk menciptakan disparitas harga produk yang sangat jauh. Akibatnya, produksi komoditas pangan dalam negeri kalah saing dengan produk ilegal tersebut.
Menurut MK, sedianya pasal tersebut tidak menjadi penghambat bagi warga dalam rangka memenuhi hak untuk hidup sejahtera lahir batin dan berkualitas.
"Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU 42/2009 berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum," ujar Palguna, dalam sidang putusan yang digelar di MK, Selasa (28/2/2017).
MK juga menyarankan agar dibentuk peraturan pemerintah guna menghindari kerancuan jenis barang apa saja yang tergolong sebagai barang kebutuhan pokok.
"Mengatur lebih lanjut rincian mengenai jenis-jenis barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak itu dalam Peraturan Pemerintah dan hal itu tidaklah bertentangan dengan UUD 1945," kata Palguna.
Oleh karena itu pemerintah sebaiknya memiliki alternative lain seperti meningkatkan penerimaan Negara di bidang lainnya agar dengan dihapusnya PPN atas pangan tidak akan berdampak terlalu besar. Karena kepentingan masyarakat selalu menjadi prioritas utama dalam bernegara.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2.      Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan,
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.
6.      Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor. 35/Pmk.010/2017 Tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
7.      Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 120/PMK.04/2013 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 Tentang Kawasan Berika
8.      Agung Mulyo, Perpajakan Indonesia Seri PPN, PPnBM dan PPh Badan, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2009.
9.      Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2015 Tentang Penetapan Dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok Dan Barang Penting
  1. Ortax.org
  2. Pajak.go.id
  3. Mahkamahkonstitusi.go.id
  4. kawasan-berikat.org




PERTANYAAN DAN JAWABAN

1.      Andry Haryanto ( 120303150027 )
Pertanyaan :
Kalau kebutuhan pokok berkembang, bagaimana kalau semua barang menjadi bahan kebutuhan pokok ?

Jawaban :
Kebutuhan manusia yang terus meningkat menyebabkan ilmu pengetahuan dan teknologi juga semakin meningkat. Kebutuhan pokok manusia adalah sandang, pangan dan papan.
Barang Kebutuhan Pokok adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat.
Adapun dalam penetapan barang tersebut sebagai kebutuhan pokok tentunya dengan berbagai pertimbangan, diantaranya :
(1)   Pemerintah Pusat menetapkan jenis Barang Kebutuhan Pokok.
Jenis Barang Kebutuhan Pokok terdiri dari:
1.      Barang Kebutuhan Pokok hasil pertanian:
a)      beras;
b)      kedelai bahan baku tahu dan tempe;
c)      cabe;
d)     bawang merah.
2.      Barang Kebutuhan Pokok hasil industri:
a)      gula;
b)      minyak goreng;
c)      tepung terigu.
3.      Barang Kebutuhan Pokok hasil peternakan dan perikanan;
a)      daging sapi;
b)      daging ayam ras;
c)      telur ayam ras;
d)     ikan segar yaitu bandeng, kembung dan tongkol/tuna/cakalang.
(2)   Penetapan jenis Barang Kebutuhan Pokok dilakukan berdasarkan alokasi pengeluaran rumah tangga secara nasional untuk barang tersebut tinggi.
(3)   Penetapan jenis Barang Kebutuhan Pokok selain dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada nomor (2), juga memperhatikan ketentuan:
a.       memiliki pengaruh terhadap tingkat inflasi; dan/atau
b.      memiliki kandungan gizi tinggi untuk kebutuhan manusia.


2.      Nurfuady Setiawan ( 120303150020)
Pertanyaan :
Apa perbedaan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ?

Jawaban :
Direktorat Jenderal Pajak (disingkat DJP) adalah salah satu direktorat jenderal di bawah Kementerian Keuangan Indonesia yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan.
Tugas DJP sesuai amanat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/ PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan. Dalam mengemban tugas tersebut, DJP menyelenggarakan fungsi:
a.       perumusan kebijakan di bidang perpajakan;
b.      pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan;
c.       penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perpajakan;
d.      pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perpajakan; dan
e.       pelaksanaan administrasi DJP.

Badan Kebijakan Fiskal (disingkat BKF) adalah unsur penunjang di Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan analisis di bidang kebijakan fiskal.
Tugas Badan Kebijakan Fiskal adalah :
Badan Kebijakan Fiskal mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan, penetapan, dan pemberian rekomendasi kebijakan fiskal dan sektor keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Fungsi Badan Kebijakan Fiskal adalah :
·         Penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program analisis dan perumusan rekomendasi kebijakan fiskal dan sektor keuangan serta kerja sama ekonomi dan keuangan internasional
·         Pelaksanaan analisis dan perumusan rekomendasi kebijakan fiskal dan sektor keuangan
·         Pelaksanaan kerja sama ekonomi dan keuangan internasional
·         Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi kebijakan fiskal dan sektor keuangan serta kerja sama ekonomi dan keuangan internasional
·         Pelaksanaan administrasi Badan Kebijakan Fiskal
·         Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
3.      Muhammad Farid Maruf ( 120303150013)
Pertanyaan :
Mengapa kawasan berikat dibebaskan dari PPN dan PPnBM ?

Jawaban :
Kawasan Berikat (KB) adalah suatu bangunan, tempat, atau kawasan dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL), yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor.
Tujuan dari pemberian fasilitas ini adalah terutama untuk mendukung berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.
Fasilitas berupa PPN terutang tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN, hakikatnya sama yaitu pembeli atau penerima jasa tidak perlu membayar PPN yang terutang dan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual atau pemberi jasa tidak perlu memungut PPN yang terutang. Yang membedakan dari kedua fasilitas PPN tersebut adalah dari sisi pengkreditan Pajak Masukannya.
Atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak (JKP) yang mendapat fasilitas tidak dipungut PPN, Pajak Masukan atas perolehannya dapat dikreditkan. Sementara atas penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN, Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan.

4.      Rendi Aunilah ( 120303150019)
Pertanyaan :
Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan oleh perusahaan retail seperti Indomaret ?

Jawaban :
Untuk dasar pengenaan PPN indomaret menggunakan system scan, setiap item atau barang yang ada pada toko sudah di tetapkan jumlah PPN. PPN tersebut sudah langsung terdapat pada harga tiap-tiap barang yang ada di toko. PPN akan mucul saat terjadinya transaksi jual beli yang terdeteksi langsung saat item atau barang terscan oleh barcode scanner.

5.      Odeneska J.A Purba ( 120303150030)
Pertanyaan :
Apakah pengusaha restoran wajib membuat NPWP ? Sedangkan pengusaha restoran bukan PKP karena tidak menjual BKP ?

Jawaban :
Harus tetap membuat NPWP jika memenuhi syarat subjektif dan objektif.
Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif (berdomisili/tinggal di Indoesia) dan objektif (ada penghasilan) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan (tempat kedudukan menurut keadaan yang sebenarnya), dan tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
Wajib Pajak yang wajib mendaftarkan diri adalah :
1. Orang pribadi, termasuk wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena:
a.       hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim,
b.      menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta,
c.       memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim atau tidak terdapat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, yang menjalankan atau tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak.
2.      Wajib Pajak badan yang memiliki kewajiban perpajakan sebagai pembayar pajak, pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk bentuk usaha tetap dan kontraktor dan/atau operator di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi,
3.      Wajib Pajak badan yang hanya memiliki kewajiban perpajakan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk bentuk kerja sama operasi (Joint Operation); dan
4. Bendahara yang ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

6.      Lia Faridatul Ula ( 120303150002)
Pertanyaan :
Bagaimana dengan pengusaha kecil yang ingin dikukuhkan sebagai PKP ?

Jawaban :
Atas penyerahan BKP dan atau JKP yang dilakukan oleh Pengusaha Kecil tidak dikenakan PPN, kecuali jika Pengusaha Kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP. Pengusaha Kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi PKP. Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana diwajibkan terhadap PKP pada umumnya. Ketentuan tidak dikenakan PPN tidak berlaku apabila Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

“Kegiatan Membangun Sendiri oleh PKP dan Bukan PKP, e-Faktur, dan e-SPT PPN”

KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI OLEH PKP/ BUKAN PKP Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Kegiatan Membangun Send...