KEGIATAN
MEMBANGUN SENDIRI OLEH PKP/ BUKAN PKP
Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan
Membangun Sendiri
Kegiatan
Membangun Sendiri itu terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hal tersebut
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 1
dan Pajak Pertambahan Nilai tersebut terutang bagi badan maupun orang pribadi
yang melakukan kegiatan membangun sendiri.
Definisi Kegiatan Membangun Sendiri
Dikutip
dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 adalah
“Kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan sendiri atau
digunakan pihak lain”.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 4 dijelaskan mengenai bangunan yang dimaksud dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 yaitu bangunan
tersebut berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria sebagai
berikut:
a. Konstruksi
utamanya terdiri dari kayu, beton,
pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja;
b. Diperuntukan
bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
c.
Luas keseluruhan paling sedikit 200 m2 (dua ratus meter persegi).
d.
Dibangun
bukan dalam ruang lingkup pekerjaan
Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak PPN atas
Kegiatan Membangun Sendiri
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 3 ayat 1 dan 2, diatur:
1. Kegiatan
membangun sendiri akan dikenakan PPN dengan tarif sebesar 10 % dari Dasar Pengenaan Pajak.
2.
Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan
membangun sendiri adalah 20% dari
jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun
bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.
Untuk Dasar Pengenaan Pajak atas bangunan yang diperoleh dengan cara membeli adalah
sebesar harga beli bangunan tersebut.
Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan
Membangun Sendiri
PPN
= Tarif x DPP
|
Pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor
163/PMK.03/2012 perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan
membangun sendiri adalah sebagai berikut :
PPN = 10% x (20% x
Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk membangun bangunan)
|
Saat dan Tempat dimana PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri Terutang
Berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 4 ditentukan bahwa:
1. Saat
yang menentukan PPN terutang adalah saat mulai dibangunnya bangunan.
2. Kegiatan
membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu
kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut
tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
3. Tempat
pajak terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan
tersebut didirikan.
Penyetoran dan Pelaporan PPN atas Kegiatan
Membangun Sendiri
Dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 5, 7 dan 8 diatur bahwa:
·
Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terutang atas
kegiatan membangun sendiri dilakukan setiap bulan sebesar 10% dikalikan dengan 20% dikalikan dengan jumlah biaya yang
dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya
·
Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan
membangun sendiri wajib disetor ke kas negara seluruhnya dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama orang pribadi atau badan yang melaksanakan
kegiatan membangun sendiri melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
·
Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan
membangun sendiri wajib melaporkan penyetoran
Pajak Pertambahan Nilai terutang tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak
Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dengan
mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
Hal-Hal
yang Perlu Diperhatikan dalam Penyetoran PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
Pada Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 5,7, dan 8 terdapat hal yang harus diperhatikan
dalam penyetoran PPN atas kegiatan membangun sendiri yaitu:
a. Dalam
hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja KPP Pratama tempat orang pribadi atau badan
yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, kolom NPWP yang tercantum
pada Surat Setoran Pajak diisi dengan NPWP orang pribadi atau badan tersebut.
b. Dalam
hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja KPP Pratama yang berbeda dengan Kantor
Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan
membangun sendiri terdaftar, Surat Setoran Pajak diisi dengan ketentuan sebagai
berikut :
·
Kolom NPWP diisi dengan :
o angka
0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama;
o angka
kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat
bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan
o angka
0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.
·
Pada kotak "Wajib Pajak/Penyetor"
diisi nama dan NPWP orang pribadi atau
badan yang melakukan kegiatan
membangun sendiri
c. Dalam
hal orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki
NPWP, Surat Setoran Pajak diisi dengan ketentuan sebagai berikut :
·
Kolom NPWP diisi dengan :
o
angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama;
o
angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang
wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga)
digit berikutnya; dan
o
angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.
·
Pada
kotak "Wajib Pajak/Penyetor" diisi nama dan alamat orang pribadi atau
badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri.
Hal-Hal
yang Perlu Diperhatikan Dalam Pelaporan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 8 hal tersebut yaitu:
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 8 hal tersebut yaitu:
·
Dalam hal orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan
Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi
atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan kegiatan
membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan
melampirkan lembar ketiga Surat Setoran Pajak.
·
Membangun
sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan
didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda
dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan tersebut
terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri
selain wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana
dimaksud pada Pasal 8 ayat (1), wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri
dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan
fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak.
·
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak terdaftar di
Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, atau Kantor Pelayanan
Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus,
Pengusaha Kena Pajak tersebut selain wajib melaporkan penyetoran Pajak
Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1), wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri
dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan
fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak.
·
Dalam
hal bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan dengan mempergunakan lembar
ketiga Surat Setoran Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat bangunan yang dibangun tersebut
berada, paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak
(tidak perlu mencantumkan NPWP).
Hal-Hal Lain Yang Perlu
Diperhatikan
1. Dalam hal bangunan sebagai hasil
kegiatan membangun sendiri digunakan oleh pihak lain sebagai tempat tinggal atau
tempat kegiatan usaha, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan
membangun sendiri wajib menyerahkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak
Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri kepada pihak lain yang
menggunakan bangunan tersebut;
2. Dalam hal orang pribadi atau badan
yang membangun sendiri bangunan untuk digunakan pihak lain tidak dapat
menunjukkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan Nilai atas
kegiatan membangun sendiri, pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut
bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang.
3. Dalam hal orang pribadi atau badan
yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak melakukan kewajiban penyetoran
Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
dan/atau kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1),
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat
bangunan didirikan atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar dapat mengeluarkan surat teguran sesuai contoh format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012.
4. Dalam hal orang pribadi atau badan
yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah melakukan penyetoran atau
pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri namun
berdasarkan data yang dimiliki dan diperoleh oleh Direktorat Jenderal Pajak
diyakini terdapat indikasi penyetoran atau pelaporan yang tidak wajar, Kepala
Kantor Pelayanan Pajak Pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menerbitkan surat himbauan sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari dari Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012.
5. Apabila dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari sejak diterbitkannya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) atau surat himbauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), orang pribadi atau
badan belum menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas
kegiatan membangun sendiri, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah
kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dapat melakukan verifikasi atau
pemeriksaan untuk menetapkan besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas
kegiatan membangun sendiri tersebut.
6. Berdasarkan hasil verifikasi atau
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak
menerbitkan surat ketetapan pajak atas kegiatan membangun sendiri.
7. Dalam hal orang pribadi atau badan
yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki NPWP, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama
secara jabatan menerbitkan NPWP sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
8.
Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan
membangun sendiri telah memiliki NPWP namun berbeda dengan tempat bangunan
didirikan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan
NPWP sebagai cabang sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang
perpajakan
Penetapan
Secara Jabatan Untuk PPN terutang atas Kegiatan Membangun Sendiri
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012
Pasal 6 disebutkan bahwa:
1.
Apabila
orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak atau
kurang menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang ke kas negara, Direktorat
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan
hasil pemeriksaan atau verifikasi.
2.
Jika
berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri :
1. tidak memberikan data atau bukti
pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun
bangunan; atau
2. memberikan data atau bukti pendukung
biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, namun
tidak benar atau tidak lengkap,
Maka jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang
dibayarkan untuk membangun bangunan dalam rangka kegiatan membangun sendiri
dapat ditetapkan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012
Pasal 10 disebutkan bahwa “Pajak Masukan yang dibayar
sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan”.
E-FAKTUR
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan
data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic
mail), telegram, teleks, telecopy
atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang
telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang
terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait
dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan
autentikasi.
Sertifikat Elektronik
Pengertian
Umum
Petugas Khusus Faktur Pajak yang selanjutnya disebut
Petugas Khusus adalah Pelaksana di lingkungan Kantor Pelayanan Pajak yang
ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan formulir Surat
Keputusan Penunjukan Petugas Khusus sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1.1
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-20/PJ/2014 tentang Tata Cara Pemberian
Kode Aktivasi dan Password, Permintaan Aktivasi Akun Pengusaha Kena Pajak dan
Permintaan Sertifikat Elektronik, serta Permintaan, Pengembalian dan Pengawasan
Nomor Seri Faktur Pajak untuk menyelesaikan permohonan sesuai dengan prosedur
yang dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat
elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan
status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Pajak atau Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
Passphrase adalah serangkaian angka dan/atau huruf
dan/atau karakter tertentu yang digunakan untuk melakukan pengamanan Sertifikat
Elektronik.
Akun Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disebut Akun
PKP adalah wadah layanan perpajakan secara elektronik untuk Pengusaha Kena
Pajak dalam melaksanakan ketentuan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Tata Cara Pemberian dan Pencabutan Sertifikat
Elektronik
(1) Direktorat
Jenderal Pajak memberikan sertifikat elektronik kepada PKP yang berfungsi
sebagai otentifikasi pengguna layanan perpajakan secara elektronik yang
disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak, berupa:
·
layanan permintaan Nomor Seri Faktur
Pajak melalui laman (website) yang ditentukan dan/atau disediakan oleh
Direktorat Jenderal Pajak; dan
·
penggunaan aplikasi atau sistem
elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak
untuk pembuatan Faktur Pajak berbentuk elektronik.
(2) Sertifikat
elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada PKP setelah PKP
mengajukan permintaan sertifikat elektronik dan menyetujui syarat dan ketentuan
yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(3) Pengajuan
permintaan sertifikat elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan oleh PKP mulai 1 Januari 2015, melalui:
·
Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP
dikukuhkan dengan menyampaikan surat Permintaan Sertifikat Elektronik
sebagaimana diatur dalam Lampiran IH yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini (pada Lampiran IH pemohon yang dimaksud adalah
direktur/koomisaris/pemegang saham); atau
·
laman (website) yang ditentukan dan/atau
disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan mengikuti petunjuk pengisian
(manual user) yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(4) Pemberian
sertifikat elektronik dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada PKP
melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan atau melalui laman
(website) yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(5) PKP
yang melakukan pemusatan tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai dapat
mengajukan permintaan sertifikat elektronik melalui laman (website) yang
ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak, untuk:
·
tempat kegiatan usaha yang tercantum
dalam Surat Keputusan Pemusatan Tempat Terutang Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai; atau
·
tempat kegiatan usaha yang mempunyai
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP Cabang) dalam hal pemusatan tempat terutang Pajak
Pertambahan Nilai dilakukan secara jabatan oleh Direktorat Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a Undang-Undang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(6) Tata
cara permintaan dan pemberian sertifikat elektronik melalui laman (website)
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan ayat (4) mengikuti petunjuk
pengisian (manual user) yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(7) Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),
sertifikat elektronik dapat diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak secara
jabatan kepada PKP yang diwajibkan membuat Faktur Pajak berbentuk elektronik
sebelum 1 Juli 2015 berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Prosedur Penyelesaian Permintaan Sertifikat Elektronik
a.
Prosedur
Penyelesaian Permintaan Sertifikat Elektronik mengacu pada Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
ini.
b.
Prosedur
Penyelesaian Permintaan Pencabutan Sertifikat Elektronik mengacu pada Lampiran
II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak ini.
c.
Prosedur
Penyelesaian Permintaan Sertifikat Elektronik Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan
Pemusatan Tempat Terutang PPN untuk Tempat Kegiatan Usaha yang Dipusatkan
mengacu pada Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
d.
Prosedur
Penyelesaian Permintaan Pencabutan Sertifikat Elektronik Bagi Pengusaha Kena
Pajak yang Melakukan Pemusatan Tempat Terutang PPN untuk Tempat Kegiatan Usaha
yang Dipusatkan mengacu pada Lampiran IV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
e.
Prosedur
Penyelesaian Pencabutan Sertifikat Elektronik Secara Jabatan mengacu pada
Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak ini.
Kode Aktivasi dan Password
Kode Aktivasi
adalah kode yang berupa karakter yang dapat terdiri dari angka, huruf, atau
kombinasi angka dan huruf yang diberikan Direktorat Jenderal Pajak kepada
PKP melalui surat pemberitahuan kode aktivasi.
Password adalah
kode yang berupa karakter yang dapat terdiri dari angka, huruf, atau kombinasi
angka dan huruf yang diberikan Direktorat Jenderal Pajak kepada PKP
melalui surat elektronik (email).
Cara memperoleh
Kode Aktivasi dan Password :
1. PKP mengajukan surat permohonan Kode
Aktivasi dan Password ke Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan sesuai
dengan formulir sebagaimana diatur dalam Lampiran IA yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
2. Surat permohonan
Kode Aktivasi dan Password sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
1.
diisi dengan lengkap dan ditandatangani
oleh PKP; dan
2.
disampaikan secara langsung ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan dengan menunjukkan asli kartu identitas
sesuai dengan identitas yang tercantum dalam surat permohonan.
3. Dalam hal surat
permohonan Kode Aktivasi dan Password ditandatangani oleh selain PKP, maka
surat permohonan harus dilampiri dengan surat kuasa.
4
Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Kode Aktivasi dan Password ke PKP
dalam hal PKP memenuhi syarat sebagai berikut:
·
PKP telah dilakukan Registrasi Ulang
Pengusaha Kena Pajak oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP terdaftar
berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2012 dan
perubahannya dan laporan hasil registrasi ulang/verifikasi menyatakan PKP tetap
dikukuhkan; atau
·
PKP telah dilakukan verifikasi
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2012.
5. Dalam hal PKP memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Kantor Pelayanan Pajak:
·
menerbitkan surat pemberitahuan Kode
Aktivasi yang ditandatangani oleh Kepala Seksi Pelayanan atas nama Kepala
Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana diatur dalam Lampiran IB yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dan dikirim
melalui pos dalam amplop tertutup ke alamat PKP; dan
·
mengirimkan Password melalui surat elektronik
(email) ke alamat email PKP yang dicantumkan dalam surat permohonan Kode
Aktivasi dan Password.
6. Dalam hal PKP tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat
pemberitahuan penolakan Kode Aktivasi dan Password sebagaimana diatur dalam
Lampiran IC yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
7. Dalam hal surat pemberitahuan Kode Aktivasi
tidak diterima oleh PKP dan kembali pos (kempos), Kantor Pelayanan Pajak akan
memberitahukan informasi tersebut melalui surat elektronik (email) ke alamat
email PKP yang dicantumkan dalam surat permohonan Kode Aktivasi dan Password.
8. PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dan/atau ayat (7) dapat mengajukan kembali surat permohonan Kode Aktivasi dan
Password ke Kantor Pelayanan Pajak setelah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dan/atau telah menyampaikan surat pemberitahuan perubahan alamat
ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan prosedur pemberitahuan perubahan
alamat.
9. Dalam hal PKP tidak menerima Password
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b karena kesalahan penulisan alamat
email pada Surat Permohonan Kode Aktivasi dan Password, PKP harus melakukan
update email.
10. Surat pemberitahuan Kode Aktivasi yang hilang
dapat dimintakan kembali ke Kantor Pelayanan Pajak dengan menyampaikan surat
permohonan cetak ulang Kode Aktivasi sebagaimana diatur dalam Lampiran ID yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan melampirkan fotokopi surat keterangan kehilangan dari kepolisian dan
fotokopi bukti penerimaan surat dari Kantor Pelayanan Pajak atas surat
permohonan Kode Aktivasi dan Password.
11. Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat
pemberitahuan Kode Aktivasi atau surat pemberitahuan penolakan Kode Aktivasi
dan Password dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah surat
permohonan diterima.
12. PKP harus melakukan aktivasi wadah layanan
perpajakan secara elektronik (Akun Pengusaha Kena Pajak) yang disediakan oleh
Direktorat Jenderal Pajak dengan menggunakan Kode Aktivasi, melalui:
·
Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP
dikukuhkan dengan menyampaikan surat Permintaan Aktivasi Akun Pengusaha Kena
Pajak sebagaimana diatur dalam Lampiran IE yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini; atau
·
laman (website) yang ditentukan dan/atau
disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan mengikuti petunjuk pengisian
(manual user) yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
13. Aktivasi Akun Pengusaha Kena Pajak dilakukan
secara jabatan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk PKP yang telah memperoleh
Kode Aktivasi dan Password sebelum 1 Juli 2014.
e-Nofa (Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak secara e-Nofa
Online)
Nomor Seri Faktur Pajak adalah
salah satu syarat dalam pembuatan faktur pajak secara e-Faktur. Bagaimana cara
mendapatkan nomor seri faktur pajak (NSFP)?
Pengertian e-Nofa Pajak
e-Nofa pajak adalah aplikasi
online yang disediakan DJP bagi wajib pajak untuk melakukan permintaan nomor
seri faktur pajak secara elektronik/online. Nomor seri faktur pajak ini
diperlukan saat wajib pajak membuat faktur pajak elektronik.
e-Nofa pajak diberlakukan sejak
penerapan e-faktur pada tanggal 1 Januari 2015. Sebelumnya, wajib pajak harus
datang ke KPP terlebih dahulu untuk mendapatkan NSFP.
Setelah melakukan permintaan
nomor faktur pajak, Anda dapat membuat e-faktur terlebih dahulu, aplikasi pajak
untuk hitung, setor dan lapor pajak yang terintegrasi. Fitur pembuatan e-faktur
pajak ini sangat menghemat waktu pengguna. Cukup 1 klik, e-faktur pajak akan
dikirimkan ke email pengguna.
Website e-Nofa Pajak
Untuk melakukan permintaan
nomor seri faktur pajak online, wajib pajak harus mengakses website e-Nofa
pajak di http://efaktur.pajak.go.id dengan memasukkan username berupa NPWP
perusahaan dan password.
Jumlah Nomor Seri Faktur Pajak
yang Bisa Diminta di e-Nofa
Jumlah nomor faktur pajak
elektronik yang bisa diminta wajib pajak di website e-nofa pajak tergantung
dari jumlah invoice atau faktur komersial yang diterbitkan dalam 3 bulan
terakhir.
Persyaratan Penggunaan Aplikasi
E-Nofa Pajak
1.
Pengguna
adalah wajib pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan
memiliki akun PKP. PKP adalah pengusaha yang memiliki perusahaan dengan omzet
di atas Rp 4,8 miliar per tahun. Pengusaha yang memiliki perusahaan di bawah
omzet tersebut dapat memilih menjadi PKP atau non-PKP.
2.
Memiliki
mempunyai kode aktivasi dan password yang diberikan oleh DJP.
3.
Memiliki
sertifikat elektronik yang sebelumnya telah diajukan ke KPP tempat wajib pajak
terdaftar dan disetujui oleh DJP.
Permintaan Nomor Seri Faktur
Pajak (PENG - 4/PJ.02/2014)
Pengumuman ini dikeluarkan
untuk menjawab kegalauan Wajib Pajak mengenai Nomor Faktur Pajak. Berdasarkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 24/PJ/2012 tentang Bentuk,
Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan dalam rangka
Pembuatan, Tata Cara Pembetulan dan Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan
Faktur Pajak dan perubahannya adalah sebagai berikut:
PKP harus membuat Faktur Pajak
dengan Kode dan NSFP, yaitu terdiri dari 16 digit yang terdiri dari dua digit
Kode Transaksi, satu digit Kode Status, dan 13 digit Nomor Seri Faktur Pajak
yang ditentukan DJP.
NSFP dapat diperoleh PKP dari
KPP tempat PKP dikukuhkan sesuai tata cara yang telah ditentukan. Contoh: untuk
2016, Nomor Seri Faktur Pajak akan dimulai dari 000.16.00000001 dan seterusnya.
NSFP yang digunakan untuk
penerbitan Faktur Pajak dalam tahun yang sama dengan dua digit tahun penerbitan
yang tertera dalam Nomor Seri Faktur Pajak.
Maka dari itu, Nomor Seri
Faktur Pajak untuk tahun pajak sebelumnya (2015) tidak akan dilayani lagi oleh
KPP. Artinya, PKP harus segera mengajukan surat permintaan Nomor Seri Faktur
Pajak untuk 2016.
Permintaan Nomor Seri Faktur
Pajak Didapat Melalui:
·
Kantor
Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan; dan/atau
·
Laman
(website) yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Tata Cara Permintaan Nomor Seri
Faktur Pajak :
·
Melalui
Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan dilakukan dengan menggunakan surat
permintaan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Lampiran IF yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
·
Melalui laman
(website) yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak:
1.
Untuk PKP
yang telah memiliki sertifikat elektronik; dan
2.
Mengikuti
petunjuk pengisian (manual user) yang disediakan oleh Direktorat Jenderal
Pajak.
Nomor Seri Faktur Pajak
PKP
dapat melakukan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak melalui:
a.
Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP
dikukuhkan; dan/atau
b.
laman (website) yang ditentukan dan/atau
disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
·
Tata cara permintaan Nomor Seri Faktur
Pajak:
a. melalui
Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan dilakukan dengan menggunakan surat
permintaan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Lampiran IF yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
b. melalui
laman (website) yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal
Pajak:
·
untuk PKP yang telah memiliki sertifikat
elektronik; dan
·
mengikuti petunjuk pengisian (manual
user) yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Nomor
Seri Faktur Pajak hanya diberikan kepada PKP yang telah memenuhi syarat sebagai
berikut:
·
telah memiliki Kode Aktivasi dan
Password;
·
telah melakukan aktivasi Akun Pengusaha
Kena Pajak; dan
·
telah melaporkan SPT Masa PPN untuk 3
(tiga) masa pajak terakhir yang telah jatuh tempo secara berturut-turut pada
tanggal PKP mengajukan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak.
PKP
yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3),
tidak dapat diberikan Nomor Seri Faktur Pajak.
Atas
surat permintaan Nomor Seri Faktur Pajak yang disampaikan secara langsung ke
Kantor Pelayanan Pajak dan memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3), Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat pemberian Nomor Seri
Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Lampiran IG-1 yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini ke PKP.
Atas
permintaan Nomor Seri Faktur Pajak yang disampaikan melalui laman (website)
yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), PKP akan menerima surat
pemberian Nomor Seri Faktur Pajak dalam bentuk elektronik sebagaimana diatur
dalam Lampiran IG-2 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini ke PKP.
Dalam
hal Surat pemberian Nomor Seri Faktur Pajak hilang, rusak, atau tidak tercetak
dengan jelas, PKP dapat:
·
meminta surat pemberian Nomor Seri
Faktur Pajak tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak; atau
·
melakukan cetak ulang surat pemberian
Nomor Seri Faktur Pajak melalui laman (website) yang ditentukan dan/atau
disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Format Kode dan
Nomor Seri Faktur Pajak Standar.
·
Kode Faktur Pajak Standar terdiri dari 6 (enam)
digit, dengan rincian sebagai berikut :
-
2 (dua) digit pertama adalah Kode Transaksi, dengan
rincian sebagai berikut :
Kode Transaksi Digunakan
untuk
01 penyerahan kepada
selain Pemungut PPN
02 penyerahan
kepada Pemungut PPN Bendaharawan Pemerintah
03 penyerahan kepada
Pemungut PPN Lainnya (selain Bendaharawan Pemerintah)
04 penyerahan yang
menggunakan DPP Nilai Lain kepada selain Pemungut PPN;
05 kode ini sudah
tidak lagi dipergunakan;
06 penyerahan Lainnya
kepada selain Pemungut PPN;
07 penyerahan
yang PPN atau PPN dan PPn BM-nya Tidak Dipungut kepada selain Pemungut PPN;
08 digunakan
untuk penyerahan yang Dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPN dan PPn BM kepada
selain Pemungut PPN;
09 digunakan
untuk penyerahan Aktiva Pasal 16D kepada selain Pemungut PPN
- 1 (satu) digit berikutnya adalah Kode
Status, dengan rincian sebagai berikut:
Kode Status Digunakan untuk
0 Normal
1 Penggantian
·
Nomor Seri Faktur Pajak Standar, terdiri dari 13
(tiga belas) digit, dengan rincian sebagai berikut:
- 3 (tiga) digit pertama adalah
kode yang ditentukan oleh DJP langsung
- 2 (dua) digit pertama adalah
Tahun Penerbitan.
- 8 (delapan) digit selanjutnya
adalah Nomor Urut.
Nomor Urut, diisi dengan ketentuan sebagai berikut :
·
Nomor Urut
dibuat secara berurutan, tanpa perlu dibedakan antara Kode Transaksi, Kode
Status Faktur Pajak Standar dan mata uang yang digunakan.
·
Nomor Urut
dimulai dari 1 (satu) pada setiap awal tahun takwim mulai bulan Januari,
kecuali bagi Pengusaha Kena Pajak yang baru dikukuhkan, maka Nomor Urut 1
(satu) dimulai sejak Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak tersebut dikukuhkan. Bagi
Pengusaha Kena Pajak, maka Nomor Urut 1 (satu) dimulai pada setiap awal tahun
takwim mulai bulan Januari pada masing-masing Kantor Pusat dan Kantor-kantor
Cabangnya kecuali bagi Kantor Cabang yang baru dikukuhkan, maka Nomor Urut 1
(satu) dimulai sejak Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak tersebut dikukuhkan.
·
Apabila
sebelum bulan Januari tahun takwim berikutnya, Nomor Urut telah habis digunakan
oleh Pengusaha Kena Pajak (termasuk Nomor Urut di Kantor Pusat dan/atau
Kantor-kantor Cabang bagi Pengusaha Kena Pajak maka Pengusaha Kena Pajak harus
menerbitkan dengan Nomor Urut dimulai dari Nomor Urut 1 (satu) dan Pengusaha
Kena Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis, paling lambat pada
saat Faktur Pajak Standar dengan Nomor Urut 1 (satu) tersebut diterbitkan,
dengan menggunakan formulir yang ditetapkan.
·
Pengusaha
Kena Pajak pada awal tahun takwim berikutnya harus menerbitkan Faktur Pajak
Standar dengan Nomor Urut dimulai dari Nomor Urut 1 (satu) kembali.
e-Faktur
Pengertian e-Faktur
Faktur Pajak berbentuk elektronik, yang selanjutnya disebut e-Faktur,
adalah Faktur Pajak yang dibuat melalui aplikasi atau sistem elektronik yang
ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Pengusaha Kena Pajak yang diwajibkan membuat e-Faktur adalah Pengusaha
Kena Pajak yang telah ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Kewajiban
Pembuatan e-Faktur
(1) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (2) wajib membuat e-Faktur untuk setiap:
a.
penyerahan
Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan/atau
Pasal 16D Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
dan/atau
b.
penyerahan
Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
(2) Kewajiban pembuatan e-Faktur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak:
a. yang dilakukan oleh pedagang eceran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012;
b. yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak Toko
Retail kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16E Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009; dan
c. yang bukti pungutan Pajak
Pertambahan Nilainya berupa dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan
dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
(3) Tata cara pembuatan Faktur
Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c mengikuti ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
e-Faktur Wajib
Dibuat Oleh Pengusaha Kena Pajak Pada:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 16D
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
b. saat penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009;
c. saat penerimaan pembayaran dalam hal
penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
d. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal
penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
e. saat lain yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
Tata Cara
Pembuatan e-Faktur
1 e-Faktur harus mencantumkan keterangan
tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
paling sedikit memuat:
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak
yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak
pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual
atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan
Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak
menandatangani Faktur Pajak.
2 Tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf g berupa tanda tangan elektronik.
3 e-Faktur dibuat dengan menggunakan mata
uang Rupiah.
4 Untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang menggunakan mata uang selain Rupiah maka harus
terlebih dahulu dikonversikan ke dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs
yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan e-Faktur.
Atas e-Faktur yang salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan,
sehingga tidak memuat keterangan yang lengkap, jelas dan benar, Pengusaha Kena
Pajak yang membuat e-Faktur tersebut dapat membuat e-Faktur pengganti melalui
aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan Direktorat
Jenderal Pajak.
Dalam hal terdapat pembatalan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang e-Fakturnya telah dibuat, Pengusaha
Kena Pajak yang membuat e-Faktur harus melakukan pembatalan e-Faktur melalui
aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan Direktorat
Jenderal Pajak.
Hal – Hal yang
Harus Dilakukan Apabila Hasil Cetak e- Faktur Hilang:
(1) Atas hasil cetak e-Faktur yang rusak atau
hilang, Pengusaha Kena Pajak yang membuat e-Faktur dapat melakukan cetak ulang
melalui aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan
Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Atas data e-Faktur yang rusak atau hilang,
Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permintaan data e-Faktur ke Direktorat
Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak
dikukuhkan dengan menyampaikan surat Permintaan data e-Faktur sebagaimana
diatur dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Permintaan data e-Faktur sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terbatas pada data e-Faktur yang telah diunggah (upload) ke
Direktorat Jenderal Pajak dan telah memperoleh persetujuan dari Direktorat
Jenderal Pajak.
Keadaan
Tertentu
(1) Dalam hal terjadi keadaan tertentu yang
menyebabkan Pengusaha Kena Pajak tidak dapat membuat e-Faktur, Pengusaha Kena
Pajak diperkenankan untuk membuat Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy).
(2) Keadaan tertentu yang menyebabkan Pengusaha
Kena Pajak tidak dapat membuat e-Faktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah keadaan yang disebabkan oleh peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana
alam, pemogokan, kebakaran, dan sebab lainnya di luar kuasa Pengusaha Kena
Pajak, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Dalam hal keadaan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan telah berakhir oleh Direktur Jenderal Pajak, data
Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy) yang dibuat dalam keadaan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diunggah (upload) ke Direktorat Jenderal
Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak melalui aplikasi atau sistem elektronik yang
ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk mendapatkan
persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak.
Bentuk e-Faktur
(1) Bentuk e-Faktur adalah berupa dokumen
elektronik Faktur Pajak, yang merupakan hasil keluaran (output) dari aplikasi
atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat
Jenderal Pajak.
(2) e-Faktur tidak diwajibkan untuk dicetak dalam
bentuk kertas (hardcopy).
Faktur pajak keluaran adalah
faktur atas data penyerahan yang dibuat oleh pihak yang menyerahkan BKP/JKP
(penjual). Di sisi lain, faktur tersebut akan diterima oleh pihak yang
memperoleh BKP/JKP (pembeli) sebagai faktur pajak masukan. Atas kedua jenis
faktur ini, PKP harus tetap melakukan entry data pada aplikasi e-Faktur.
Entry data faktur dilakukan pada
menu Faktur. Untuk data faktur pajak keluaran, mutlak diperlukan terlebih
dahulu data jatah NSFP yang telah dientry pada menu Referensi. Yang harus
diperhatikan adalah isian tanggal faktur pajak. Tidak dimungkinkan faktur pajak
keluaran bertanggal mendahului dari tanggal diberikannya jatah NSFP. Misalnya,
jatah NSFP diperoleh tanggal 11 Juli 2016, maka faktur pajak keluaran harus
dibuat dengan tanggal 11 Juli 2016 atau setelahnya, tidak diperkenankan faktur
dibuat untuk tanggal 10 Juli 2016 ataupun sebelumnya. Jadi pastikan sebelum
melakukan transaksi telah mempunyai stok jatah NSFP yang siap digunakan.
Perhatikan juga tentang isian atau
pilihan atas Kode Transaksi pada nomor faktur. Seperti pada penjelasan
sebelumnya tentang arti digit nomor faktur, terdapat 2 digit awal nomor faktur
yang berarti kode transaksi. Kode ini disesuaikan dengan transaksi yang akan
dilakukan, apakah transaksi umum ataukah transaksi dengan bendahara pemerintah,
ataupun yang lainnya.
Pembuatan data faktur pajak
keluaran memerlukan isian data yang cukup detil, dari mulai data identitas
lawan transaksi sampai pada isian data barang/jasa yang ditransaksikan. Semua
isian yang ditampilkan harus diisi, jika memang tidak ada data detil yang
tersedia maka dapat diisikan dengan angka 0.
Data faktur pajak keluaran yang
telah dibuat harus diupload untuk mendapatkan status approval sukses.
Setelahnya baru faktur dapat disampaikan kepada lawan transaksi, baik melalui
cetak harcopy ataupun file softcopy. Sebelum upload, pastikan bahwa tidak ada
kekeliruan pengisian datanya. Perbaikan tidak dapat dilakukan jika faktur telah
berstatus approval sukses.
Berbeda dengan data faktur pajak
masukan, PKP dapat langsung entry data atas faktur yang diterima. Hal yang
harus diperhatikan adalah pastikan bahwa lembaran faktur tersebut telah dengan
benar mencantumkan identitas kita sebagai pembeli, khususnya pada isian NPWP
pembeli. Ketidaksesuaian isian NPWP pembeli akan mengakibatkan kegagalan pada
saat data faktur tersebut diupload. Sederhananya, sistem e-Faktur telah
mengenali NPWP pembeli yang diisikan oleh pihak penerbit faktur (penjual),
sehingga hanya pihak dengan NPWP tersebut lah yang berhak mengklaim/upload
pajak masukan yang dimaksud.
Entry data pajak masukan juga
harus memperhatikan isian masa pengkreditannya. Pengkreditan ini dapat dipilih
untuk masa pajak yang sama dengan tanggal faktur pajaknya ataupun pada 3 masa
pajak selanjutnya yang berbeda. Sebelum melakukan upload, pastikan bahwa
pengisian masa pajak ini telah sesuai dengan yang diinginkan. Sering ditemui
karena saat entry data tidak terlalu memperhatikan isian masa pajak, maka masa
pajak akan otomatis sama dengan masa pajak tanggal fakturnya. Perubahan isian
masa pajak hanya dapat dilakukan sebelum faktur mendapatkan status approval sukses.
Data faktur pajak masukan tetap
memerlukan proses upload yang digunakan untuk mencocokan isian data yang
dientry dengan data faktur yang ada pada sistem e-Faktur. Jika data sesuai maka
faktur pajak masukan tersebut dapat diklaim untuk masuk dalam perhitungan
pengkreditan pajak masukan sesuai dengan masa pengkreditannya.
Faktur pajak masukan dapat
berstatus approval sukses ataupun dapat juga berstatus “Bukan faktur e-tax”.
Status tersebut didasarkan atas metode penerbitan faktur yang dilakukan oleh
pihak penjual. Jika kita bertransaksi dengan pihak yang secara peraturan masih
diperkenankan menerbitkan faktur secara manual (sebelum era e-Faktur), maka
kita tetap dapat mengkreditkannya dengan status “Bukan faktur e-tax”. Namun,
jika pihak penjual sebenarnya sudah harus menerbitkan e-Faktur maka data faktur
akan reject saat diupload. Lakukan konfirmasi lebih lanjut pada pihak penerbit.
Terdapat pilihan untuk
mengkreditkan atau tidak mengkreditkan data pajak masukan. Syarat utama faktur
pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah dari perolehan yang berhubungan
dengan kegiatan usahanya.
Pelaporan e-
Faktur oleh Pengusaha Kena Pajak
(1) e-Faktur wajib dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak ke Direktorat
Jenderal Pajak dengan cara diunggah (upload) ke Direktorat Jenderal Pajak dan
memperoleh persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Pelaporan e-Faktur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan menggunakan aplikasi atau sistem elektronik yang
telah ditentukan dan/atau disediakan Direktorat Jenderal Pajak.
(3) Direktorat Jenderal Pajak memberikan
persetujuan untuk setiap e-Faktur yang telah diunggah (upload) sepanjang Nomor
Seri Faktur Pajak yang digunakan untuk penomoran e-Faktur tersebut adalah Nomor
Seri Faktur Pajak yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada
Pengusaha Kena Pajak yang membuate-Faktur sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) e-Faktur yang tidak memperoleh persetujuan
dari Direktorat Jenderal Pajak bukan merupakan Faktur Pajak.
E-SPT PPN
Sejak
Juli 2016, seluruh PKP sudah wajib menggunakan e-Faktur untuk pelaporan SPT
PPN.
KASUS DAN PEMBAHASAN
Waduh,Wajib Pajak Keluhkan Server Pajak
yang Down Sejak Selasa
BEKASI (TEROPONGSENAYAN) - Server pajak di
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Bekasi Barat dikabarkan sedang mengalami down. Hal ini kemudian membuat
banyak para wajib pajak yang tak bisa mengurus faktur pajak yang saat ini sudah
dalam jaringan (daring/online).
“Sudah sejak hari Selasa (8/3/2016) kemarin. Sehingga hari ini
semua menumpuk di sini. Saya juga tidak bisa mengurus e-Faktur perusahaan,”
kata salah seorang wajib pajak Siti Aminah di Bekasi, Jumat (11/3/2016).
Server yang down ini membuat terhambatnya para wajib pajak untuk
melakukan transaksi pajak. Berdasarkan pantauan TeropongSenayan, para wajib
pajak di KPP Bekasi Barat ini nampak menumpuk di satu meja bantuan.
“Server-nya down, tapi cuma satu meja bantuan yang buka. Ini
menunjukkan kantor pajak tidak siap untuk membuat sistemnya online,” ujarnya.
“Padahal, kami butuh sekali e-faktur ini. Perusahaan kami jadi
rugi karena terlambat melakukan penagihan akibat invoice yang tertunda,”
katanya lagi.
Selain itu, para wajib pajak di KPP Bekasi Barat ini juga
mengeluhkan tak adanya fasilitas wifi bagi mereka.
“Kan lucu, ini katanya serba online, tapi kami tidak difasilitasi
jaringan internet seperti wifi untuk memudahkan kami mengunggah atau mengunduh
data kantor pajak,” ujarnya.
“Kami berharap kantor pajak juga bisa menyediakan wifi untuk
memudahkan transaksi pajak kami,” sarannya.
Untuk diketahui, e-Faktur adalah faktur pajak yang dibuat melalui
aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh
Direktorat Jenderal Pajak.
Pemberlakuan e-Faktur dimaksudkan untuk memberikan kemudahan,
kenyamanan, dan keamanan bagi Pengusaha Kena Pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakan khususnya pembuatan Faktur Pajak.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang diwajibkan membuat Faktur Pajak
berbentuk elektronik ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Pemberlakuan e-Faktur dilakukan secara bertahap sejak 1 Juli 2014
kepada PKP tertentu. PKP yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Jawa
dan Bali wajib menggunakan e-Faktur per 1 Juli 2015. Sedangkan pemberlakukan
e-Faktur secara nasional akan secara serentak dimulai pada 1 Juli 2016.
PKP yang telah wajib e-Faktur namun
tidak menggunakannya, secara hukum dianggap tidak membuat faktur pajak sehingga
akan dikenakan sanksi pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (mnx)
Sumber:
http://www.teropongsenayan.com/33539-waduh-wajib-pajak-keluhkan-server-pajak-yang-down-sejak-selasa
Pembahasan:
Mengenai kasus
ini, infrastruktur DJP harus diperbaiki, jika tidak maka akan berimpact pada cost compliance PKP.
Compliance
cost
ini berpengaruh pada tingkat kepatuhan dan pada akhir penerimaan pajak. Jadi
secara tidak langsung meningkatkan kualitas pelayanan juga sebuah upaya nyata
untuk mendongkrak penerimaan. Jangan sampai Wajib Pajak menunggu terlalu lama
karena kurangnya meja pelayanan yang tersedia, sehingga menimbulkan persepsi
kurang baik dimata Wajib Pajak.
Menunggu bagi
Wajib Pajak merupakan “biaya tambahan” yang harus dikeluarkan. Sehingga sangat
penting untuk menjaga dan bahkan meningkatkan kualitas pelayanan kepada Wajib
Pajak
Namun ,
sebenarnya server down tidak dapat menjadi alasan bagi wajib pajak untuk
mengkhawatirkan akan terlambatnya mereka dalam membuat e-faktur hal ini
dikarekanan aplikasi tersebut langsung ke pusat dan tidak ada hubungannya
dengan server down di KPP Bekasi Barat.
Solusi:
Solusi menurut kelompok kami yang paling baik adalah
dengan meningkatkan
kualitas system dan jaringan internet .
System
e-faktur yang bergantung kepada system yang terpusat pada DJP menyebabkan
sering terjadi server error atau down,hal ini dikarenakan banyaknya KPP dan PKP
yang mengakses system e-faktur tersebut . System e-faktur ini juga sangat
bergantung pada jaringan internet, karena untuk dapat mengakses system e-faktur
ini dibutuhkan sambungan internet yang memadai. Serta pemilihan provider yang
lebih baik agar masalah server down yang dikeluhkan tidak menghambat penggunaan
e-faktur.
Selain itu Wajib Pajak juga harus
meningkatkan niatnya dalam membayar pajak.